Agama Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap)
RakyatBugis.Com : Istilah “Towani Tolotang” terdiri dari dua suku kata yaitu “Towani” dan “Tolotang”. Kata “Towani” masih mempunyai dua arti, yakni “To” artinya orang dan “Wani” adalah nama desa, dengan demikian Towani adalah orang yang berasal dari Desa Wani, tempat penganut kepercayaan tersebut berasal. Adapun kata “Tolotang” juga mempunyai dua arti yaitu “To” yang berarti orang dan “Lotang” berarti selatan.
Dengan demikian "Tolotang" berarti orang dari selatan. Jadi apabila digabungkan keseluruhan kata “Towani Tolotang” berarti orang dari DesaWani yang tinggal di sebelah selatan. Adapun maksud dari sebelah selatan ini adalah tempat yang bernama Amparita bagian selatan. Istilah Tolotang ini pertama kali di pakai oleh Penguasa Sidenreng sebagai sebutan terhadap orang-orang pendatang tersebut yang kemudian dikenal dengan nama aliran kepercayaan mereka. (Ato Mudzhar, 1977 :24)
Nenek moyang Kominitas Towani Tolotang berasal dari Wani, sebuah desa di wilayah Kabupaten Wajo ± 60 km dari Amparita. Pada awal abad ke-17, Raja Wajo Sultan Abd. Rahman yang bergelar Petta Matoa Wajo Sengkerru Petta Mulajaji, secara resmi memeluk agama Islam dan memerintahkan agar seluruh rakyatnya pun ikut memeluk agam Islam. Atas perintah tersebut rakyatnya pun patuh dan memeluk agama Islam, kecuali sekelompok kecil masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Wani menolak perintah tersebut dan masih mempertahankan kepercayaan mereka yang lama. Karena penolakan tersebut mereka pun di usir oleh sang raja untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
Karena keputusan tersebut maka penduduk Desa Wani meninggalkan desa mereka di bawah pimpinan I Lagaligo dan I Pabbere. I Lagaligo dengan rombongannya menuju ke daerah Bacukiki yang sekarang masuk dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Parepare dan menetap di sana hingga ia meninggal dunia dan di kuburkan di sana. Sedangkan rombongan yang di bawa oleh I Pabbere menuju ke arah barat menyusuri pinggiran utara Danau Sidenreng, kemudian berhenti di sebuah lembah persawahan untuk beristirahat, sekitar 2 km dari sebelah utara Amparita. Di tempat itu mereka berdiri untuk melepas lelah, sehingga lembah tersebut diberi nama ”tettong” yang berarti ”berdiri”.
Perihal kedatangan rombongan I Pabbere ini diketahui oleh Raja Sidenreng yang bergelar Addatuan VII dan berkedudukan di Massepe ± 2 km sebelah selatan Amparita, segera memerintahkan utusannya guna mencari tau tentang maksud kedatangan I Pabbere dan rombongannya. Setelah tercapai kata mufakat antara rombongan tersebut dengan penguasa Sidenreng, akhirnya mereka pun di izinkan untuk menetap dan tinggal di wilayah tersebut dengan beberepa persyaratan yang dituang dalam satu perjanjian ”Ade Mappurana Onrong Sidenreng”.
Pokok-pokok isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
Pihak rombongan menerima perjanjian tersebut. Mereka tinggal di suatu tempat sekitar 3 km sebelah selatan Amparita. Di tempat itu sangat susah untuk memperoleh sumber air, sehingga diberi nama ”Loka Pappang” yang berarti ”susah dan lapar” . setelah mereka mengolah lahan tersebut dan ternyata hasilnya baik, maka nama Loka Pappang diubah menjadi ”Perrinyameng” yang berarti setelah susah datanglah senang. Di tempat itulah I Pabbere meninggal dan di kuburkan. Kuburan I Pabbere kemudian yang menjadi pusat persembahan tahunan orang Towani Tolotang.
Setelah beberapa tahun tinggal di Perrinyameng, oleh Addatuang Sidenreng persoalan mereka kemudian diserahkan kepada Arung Amparita, lalu mereka disuruh meninggalkan Perrinyameng untuk kemudian tinggal di daerah perkampungan Amparita bersama penduduk asli hingga sekarang.pemindahan oleh Arung Amparita mungkin dimaksudkan agar proses integrasi antara pengungsi dan penduduk asli dapat berjalan lebih cepat atau untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap mereka.
Komunitas Towani Tolotang di pimpin oleh seorang pimpinan tertinggi yang disebut ”Uwatta” dan uwa-uwa” yang memimpin kelompok-kelompok kecil di bawahnya. Di Amparita terdapat seorang Uwatta dan tujuh orang uwa, memimpin seluruh penganut Towani Tolotang baik yang tinggal di dalam maupun di luar Amparita.
Pengangkatan seorang uwatta dapat ditunjuk oleh uwatta yang lama sebelum ia meninggal atau dipilih oleh di antara uwa-uwa sebelum mayat uwatta yang lama dikuburkan. Jabatan uwatta dan uwa dapat dipegang oleh laki-laki dan perempuan, dan orang yang menempati kedudukan itu lazim disebut sebagai ”Pemegang Bunga”. Ada tidaknya jabatan uwa pada diri seseorang dan keluarganya sekaligus memperlihatkan status seseorang itu dalam stratifikasi sosial mereka.
Uwatta dan para uwa beserta seluruh keluarganya dipandang sebagai keturunan langsung dari pendiri lalu diataati karena dinilai sama dengan pendiri kepercayaan itu sendiri. Menurut mereka, pendidir pertama kepercayaan Towani Tolotang adalah La Panaungi yang kuburannya kini terdapat di Kabupaten Wajo.
Penganut Towani Tolotang mengakui dan mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut ”Dewata SeuwaE”. Mereka juga percaya dengan adanya hari kiamat yang akanmengantarkan manusia kepada kehidupan periode berikutnya di hari kemudian yang disebut ”Lino Paimeng” . di alam kemidian itulah terdapat ”Lipu Bunga” sebagai tempat yang mentaati perintah Dewata SeuwaE para uwa, mereka tidak mempunyai konsep tentang neraka.
Adapun nasib yang akan menimpa mereka di hari kemudian itu sepenuhnya mereka gantungkan kepada uwatta. Ajaran-ajaran itu menurut mereka diberitahukan kepada manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada La Panaungi pendiri Towani Tolotang.
Bagi mereka kehidupan sekarang adalah periode kedua. Manusia periode pertama telah musnah pada masa Sawerigading dan pengikutnya. Mereka percaya bahwa Sawerigading adalah cucu kedua dari PatotoE selaku pemilik alam raya ini. Menurut kepercayaan mereka, pada susatu hari PatotoE bangun dari tidurnya dan diketahuinya bahwa ketiga pesuruhnya masing-masing bernama Rukkelieng, Rumma Makkampong dan Sagian Jung tidak ada di tempat.
Tidak ada yang mengetahui kemana mereka pergi . ketika mereka kembali ke istana PatotoE, mereka membawa berita bahwa ada bumi yang kosong sambil mengusulkan bahwa ditempat itu dapat ditempatkan salah satu putra PatotoE. Usul itu dalam Lontara disebut dengan ”Mula Ulona Batara Guru” yaitu “Masselingi Aju Sengkena SiasentaE Mai Rikawa” yang berarti suatu rencana penempatan manusia di dunia yang kosong.
Setelah PatotoE membicarakan usul para pesuruh dengan isterinya bernama Datu Palinge dan seluruh pimpinan kayangan. PatotoE memutuskan untuk menurunkan anaknya yang bernama Batara Guru ke bumi. Batara Guru inilah yang disebut ”Tomanurung” yang berarti orang yang turun. Setelah ia tinggal di bumi, Batara Guru mengalami banyak kesulitan karena sendirian, maka kepada PatotoE dimintalah agar secara berangsur-angsur diturunkanlah lagi manusia ke bumi untuk meramaikan dunia., dan permintaan itupun dikabulkan. Batara Guru kawin dengan Nyili Timo, puteri dari Guru Riselen, dan melahirkan seorang anak yang bernama Batara Lettu.
Batara Lettu kawin dengan Dattu Senggeng, puteri dari Laurungpessi yang kemudian melahirkan dua anak kembar seorang puteri bernama I Tenriabeng dan seorang putera bernama Sawerigading yang kemudian kawin dengan I Codai atai Datunna Cina, seorang puteri dari negeri Cina. Sawerigading inilah yang dianggap sebagai manusia luar biasa, banyak memberikan ajaran berupa lambang kepahlawanan. Setelah Sawerigading dan pengikutnya musnah karena banyak menimbulkan kekacauan di dunia, maka manusia berikutnya dipilih oleh Dewata SeuwaE untuk diberi wahyu dan disuruh mengajarkan kepada manusia adalah La Panaungi. (Sumber : https://fhetanblog.wordpress.com)
Lanjut Baca : Pendiri Towani Tolotang
Dengan demikian "Tolotang" berarti orang dari selatan. Jadi apabila digabungkan keseluruhan kata “Towani Tolotang” berarti orang dari DesaWani yang tinggal di sebelah selatan. Adapun maksud dari sebelah selatan ini adalah tempat yang bernama Amparita bagian selatan. Istilah Tolotang ini pertama kali di pakai oleh Penguasa Sidenreng sebagai sebutan terhadap orang-orang pendatang tersebut yang kemudian dikenal dengan nama aliran kepercayaan mereka. (Ato Mudzhar, 1977 :24)
Nenek moyang Kominitas Towani Tolotang berasal dari Wani, sebuah desa di wilayah Kabupaten Wajo ± 60 km dari Amparita. Pada awal abad ke-17, Raja Wajo Sultan Abd. Rahman yang bergelar Petta Matoa Wajo Sengkerru Petta Mulajaji, secara resmi memeluk agama Islam dan memerintahkan agar seluruh rakyatnya pun ikut memeluk agam Islam. Atas perintah tersebut rakyatnya pun patuh dan memeluk agama Islam, kecuali sekelompok kecil masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Wani menolak perintah tersebut dan masih mempertahankan kepercayaan mereka yang lama. Karena penolakan tersebut mereka pun di usir oleh sang raja untuk meninggalkan wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
Karena keputusan tersebut maka penduduk Desa Wani meninggalkan desa mereka di bawah pimpinan I Lagaligo dan I Pabbere. I Lagaligo dengan rombongannya menuju ke daerah Bacukiki yang sekarang masuk dalam wilayah pemerintahan Kotamadya Parepare dan menetap di sana hingga ia meninggal dunia dan di kuburkan di sana. Sedangkan rombongan yang di bawa oleh I Pabbere menuju ke arah barat menyusuri pinggiran utara Danau Sidenreng, kemudian berhenti di sebuah lembah persawahan untuk beristirahat, sekitar 2 km dari sebelah utara Amparita. Di tempat itu mereka berdiri untuk melepas lelah, sehingga lembah tersebut diberi nama ”tettong” yang berarti ”berdiri”.
Perihal kedatangan rombongan I Pabbere ini diketahui oleh Raja Sidenreng yang bergelar Addatuan VII dan berkedudukan di Massepe ± 2 km sebelah selatan Amparita, segera memerintahkan utusannya guna mencari tau tentang maksud kedatangan I Pabbere dan rombongannya. Setelah tercapai kata mufakat antara rombongan tersebut dengan penguasa Sidenreng, akhirnya mereka pun di izinkan untuk menetap dan tinggal di wilayah tersebut dengan beberepa persyaratan yang dituang dalam satu perjanjian ”Ade Mappurana Onrong Sidenreng”.
Pokok-pokok isi perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:
- Ade Mappura OnroE.
- Warialitutui
- Janci Ripiasseri
- Rappang Ripannennungeng
- Agamae Ritanree Maberre
- Adat Sidenreng tetap utuh dan harus dipatuhi
- Keputusan harus dipelihara dengan baik
- Janji harus dipatuhi
- Agama Islam harus dilangsungkan dan di jalankan
Pihak rombongan menerima perjanjian tersebut. Mereka tinggal di suatu tempat sekitar 3 km sebelah selatan Amparita. Di tempat itu sangat susah untuk memperoleh sumber air, sehingga diberi nama ”Loka Pappang” yang berarti ”susah dan lapar” . setelah mereka mengolah lahan tersebut dan ternyata hasilnya baik, maka nama Loka Pappang diubah menjadi ”Perrinyameng” yang berarti setelah susah datanglah senang. Di tempat itulah I Pabbere meninggal dan di kuburkan. Kuburan I Pabbere kemudian yang menjadi pusat persembahan tahunan orang Towani Tolotang.
Setelah beberapa tahun tinggal di Perrinyameng, oleh Addatuang Sidenreng persoalan mereka kemudian diserahkan kepada Arung Amparita, lalu mereka disuruh meninggalkan Perrinyameng untuk kemudian tinggal di daerah perkampungan Amparita bersama penduduk asli hingga sekarang.pemindahan oleh Arung Amparita mungkin dimaksudkan agar proses integrasi antara pengungsi dan penduduk asli dapat berjalan lebih cepat atau untuk mempermudah kontrol dan pengawasan terhadap mereka.
Komunitas Towani Tolotang di pimpin oleh seorang pimpinan tertinggi yang disebut ”Uwatta” dan uwa-uwa” yang memimpin kelompok-kelompok kecil di bawahnya. Di Amparita terdapat seorang Uwatta dan tujuh orang uwa, memimpin seluruh penganut Towani Tolotang baik yang tinggal di dalam maupun di luar Amparita.
Pengangkatan seorang uwatta dapat ditunjuk oleh uwatta yang lama sebelum ia meninggal atau dipilih oleh di antara uwa-uwa sebelum mayat uwatta yang lama dikuburkan. Jabatan uwatta dan uwa dapat dipegang oleh laki-laki dan perempuan, dan orang yang menempati kedudukan itu lazim disebut sebagai ”Pemegang Bunga”. Ada tidaknya jabatan uwa pada diri seseorang dan keluarganya sekaligus memperlihatkan status seseorang itu dalam stratifikasi sosial mereka.
Uwatta dan para uwa beserta seluruh keluarganya dipandang sebagai keturunan langsung dari pendiri lalu diataati karena dinilai sama dengan pendiri kepercayaan itu sendiri. Menurut mereka, pendidir pertama kepercayaan Towani Tolotang adalah La Panaungi yang kuburannya kini terdapat di Kabupaten Wajo.
Penganut Towani Tolotang mengakui dan mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang disebut ”Dewata SeuwaE”. Mereka juga percaya dengan adanya hari kiamat yang akanmengantarkan manusia kepada kehidupan periode berikutnya di hari kemudian yang disebut ”Lino Paimeng” . di alam kemidian itulah terdapat ”Lipu Bunga” sebagai tempat yang mentaati perintah Dewata SeuwaE para uwa, mereka tidak mempunyai konsep tentang neraka.
Adapun nasib yang akan menimpa mereka di hari kemudian itu sepenuhnya mereka gantungkan kepada uwatta. Ajaran-ajaran itu menurut mereka diberitahukan kepada manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada La Panaungi pendiri Towani Tolotang.
Bagi mereka kehidupan sekarang adalah periode kedua. Manusia periode pertama telah musnah pada masa Sawerigading dan pengikutnya. Mereka percaya bahwa Sawerigading adalah cucu kedua dari PatotoE selaku pemilik alam raya ini. Menurut kepercayaan mereka, pada susatu hari PatotoE bangun dari tidurnya dan diketahuinya bahwa ketiga pesuruhnya masing-masing bernama Rukkelieng, Rumma Makkampong dan Sagian Jung tidak ada di tempat.
Tidak ada yang mengetahui kemana mereka pergi . ketika mereka kembali ke istana PatotoE, mereka membawa berita bahwa ada bumi yang kosong sambil mengusulkan bahwa ditempat itu dapat ditempatkan salah satu putra PatotoE. Usul itu dalam Lontara disebut dengan ”Mula Ulona Batara Guru” yaitu “Masselingi Aju Sengkena SiasentaE Mai Rikawa” yang berarti suatu rencana penempatan manusia di dunia yang kosong.
Setelah PatotoE membicarakan usul para pesuruh dengan isterinya bernama Datu Palinge dan seluruh pimpinan kayangan. PatotoE memutuskan untuk menurunkan anaknya yang bernama Batara Guru ke bumi. Batara Guru inilah yang disebut ”Tomanurung” yang berarti orang yang turun. Setelah ia tinggal di bumi, Batara Guru mengalami banyak kesulitan karena sendirian, maka kepada PatotoE dimintalah agar secara berangsur-angsur diturunkanlah lagi manusia ke bumi untuk meramaikan dunia., dan permintaan itupun dikabulkan. Batara Guru kawin dengan Nyili Timo, puteri dari Guru Riselen, dan melahirkan seorang anak yang bernama Batara Lettu.
Batara Lettu kawin dengan Dattu Senggeng, puteri dari Laurungpessi yang kemudian melahirkan dua anak kembar seorang puteri bernama I Tenriabeng dan seorang putera bernama Sawerigading yang kemudian kawin dengan I Codai atai Datunna Cina, seorang puteri dari negeri Cina. Sawerigading inilah yang dianggap sebagai manusia luar biasa, banyak memberikan ajaran berupa lambang kepahlawanan. Setelah Sawerigading dan pengikutnya musnah karena banyak menimbulkan kekacauan di dunia, maka manusia berikutnya dipilih oleh Dewata SeuwaE untuk diberi wahyu dan disuruh mengajarkan kepada manusia adalah La Panaungi. (Sumber : https://fhetanblog.wordpress.com)
Lanjut Baca : Pendiri Towani Tolotang
Belum ada Komentar untuk "Agama Towani Tolotang di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap)"
Posting Komentar